PPh atas Bunga Obligasi

Tgl 9 Pebruari ini Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2009 tentang “Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi” yang berlaku surut sejak 1 Jan 2009.

Dalam PP No 16 tahun 2009 tersebut diatur hal-hal sbb :

Pasal 1 :

Dalam PP ini, yang dimaksud dengan :

1. Obligasi adalah surat utang atau surat utang negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan

2. Bunga Obligasi adalah Imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto

PPh Kegiatan Usaha Berbasis Syariah

Kegiatan ekonomi berbasis syariah memiliki karakteristik tersendiri. Waktu kuliah di Jurangmangu, seorang dosen malah berkomentar waktu pendirian Bank Muamalat, “Bank kok jualan barang.” Karena itu, tidak sedikit pejabat DJP juga berpendapat jika atas pembiayaan yang berasal dari bank syariah terutang PPN. Hal ini karena dia melihat bahwa nasabah bank syariah ternyata membeli barang ke bank syariah bukan kepada penjual barang.

Pemotongan PPh atas Dividen

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal Pasal 17 ayat (2d) UU PPh 1984 amandemen 2008, pemerintah pada tanggal 9 Februari 2009 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2009. Walaupun berisi empat pasal tetapi pada intinya, peraturan pemerintah ini hanya dua pasal karena pasal 3 berisi pelimpahan wewenang ke menteri keuangan dan pasal 4 merupakan saat berlakunya peraturan pemerintah ini yaitu 1 Januari 2009 atau berlaku mundur. Berikut kutipan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2009 :

Daftar Objek PPh Pasal 23

Sebelum tahun 2009, saat terutang PPh Pasal 23 adalah saat dibayar atau terutang. Mana yang lebih cepat. Sejak tahun 2009 terjadi perubahan saat terutang dikarenakan pengakuan beban biaya dalam pembukuan (akhir tahun buku) tidak menjadikan timbulnya kewajiban pembayaran atau hak atas suatu penghasilan. Karena itu, sekarang PPh Pasal 23 terutang saat :

Keberatan

Pendahuluan

Seperti kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment di mana dengan sistem ini Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang. Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak.
,

PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang diterima Tenaga Ahli

Dengan diterbitkannya PER-31/PJ./2009 tanggal 25 Mei 2009 besarnya PPh pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (“WPOP”), selaku tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (“Tenaga Ahli”) dirubah. Besarnya tariff PPh pasal 21 atas imbalan yang dibayarkan kepada tenaga ahli yang berlaku sebelum tahun 2009, sebagaimana diatur dalam KEP-545/PJ./2000 Jo PER-15/PJ./2006 adalah sebesar

PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Dokter

Pada tahun 2009 ini berlaku Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Salah satu hal yang mengalami perubahan adalah ketentuan tentang pemotongan PPh Pasal 21. Ketentuan pelaksanaan tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2009 tanggal 31 Desember 2008 dengan petunjuk teknisnya diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009. Berdasarkan bingkai dua ketentuan inilah saya menuliskan tentang pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dokter.

Ketentuan Dalam Peraturan Menteri Keuangan
Dokter dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 ini termasuk dalam kelompok tenaga ahli. Tenaga ahli sendiri masuk dalam kelompok penerima penghasilan bukan pegawai seperti kita temukan dalam Pasal 3 peraturan ini. Definisi Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21 nya? Dasar pengenaan pajaknya adalah Penghasilan Kena Pajak (Pasal 9) di mana Penghasilan Kena Pajak ii adalah Penghasilan Bruto dikurangi PTKP (Pasal 10 ayat 2). Namun demikian, pengurangan PTKP ini harus memenuhi syarat sebagaiamana diatur dalam Pasal 12 di antaranya adalah hanya berpenghasilan dari pemotong pajak saja. Bagi dokter sarat ini nampaknya sulit dipenuhi karena biasanya dia punya sumber penghasilan lain.

Dengan demikian, pengenaan PPh Pasal 21 atas dokter yang berstatus bukan sebagai pegawai adalah dengan menerapkan tarif Pasal 17 kali kumulatif penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c. Kata-kata ”kumulatif” menunjukkan bahwa pengenaan tarif Pasal 17 memperhatikan penghasilan dokter bulan-bulan sebelumnya dalam satu tahun pajak.

Ketentuan Dalam Peraturan Dirjen Pajak
Dokter dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 termasuk pula dalam kelompok tenaga ahli di mana tenaga ahli juga masih termasuk dalam kelompok penerima penghasilan bukan pegawai. Namun demikian, cara perhitungan PPh Pasal 21 nya ”sedikit” menyimpang dari Peraturan Menteri Keuangan. Di Pasal 9 ayat (1) huruf c Peraturan Dirjen, dasar pengenaan pajak bagi tenaga ahli (berarti juga dokter) yang melakukan pekerjaan bebas adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto. Khusus mengenai dokter, Pasal 10 ayat (6) memberikan penjelasan tentang penghasilan bruto dokter yaitu bahwa dalam hal penghasilan dokter yang melakukan praktek di rumah sakit atau klinik maka penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar pasien melalui rumah sakit/klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit/klinik.

Bagaimana Prakteknya?
Nah, jika melihat penjelasan di atas nampaknya ada perbedaan cara menghitung PPh Pasal 21 atas dokter yang praktek di rumah sakit/klinik. Dalam peraturan menteri, PPh Pasal 21 atas dokter ini adalah sebesar tarif pasal 17 dikalikan kumulatif penghasilan bruto. Namun demikian, di peraturan Dirjen, PPh Pasal 21 dokter ini adalah sebesar tarif Pasal 17 dikalikan penghasilan bruto (tanpa kumulatif?). Nah, kalau bagi dokter sih tentunya lebih menguntungkan perhitungan dari peraturan Dirjen karena ada pengurang 50% walaupun tarif dikenakan terhadap penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit.

Nah, untuk memperjelas bagaimana cara menghitungnya, khusus dokter, ada contohnya di lampiran PER-31/PJ/2009. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa penghitungan PPh Pasal 21 atas dokter adalah dengan menerapkan tarif Pasal 17 terhadap kumulatif 50% penghasilan bruto tanpa memperhatikan berapa persen berapa bagian bagi hasil buat rumah sakit/klinik. Untuk menjelaskan ini saya buatkan contoh sangat sederhana di bawah ini.

Misalkan dr. Prita praktek di RS Internasional dengan perjanjian bagi hasil jasa dokter 80% buat dokter dan 20% buat rumah sakit dari jasa dokter yang dibayar pasien. Jasa dokter yang dibayar pasien buat dr. Prita pada bulan Januari Rp50.000.000 dan bulan Pebruari 60.000.000. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh RS Omni International pada bulan Januari adalah 5% x 50% x Rp50 jt = Rp. 1.250.000.
Bagaimana dengan bulan Pebruari?. Kumulatif 50% penghasilan bruto bulan Pebruari adalah 50% x (Rp50 jt + Rp60 jt) = Rp55 Juta. Dasar pengenaan pajak bulan Pebruari adalah Rp55 juta – Rp25 juta = Rp 30 juta. Nah, dari Rp 30 Juta ini, 25 Juta kena tarif 5% dan di atasnya Rp5 Juta kena tarif 15%. Jadi, PPh Pasal 21 bulan Pebruari adalah 5%x25 jt + 15%x5jt = Rp 2 Juta.
Ada penjelasan resmi tentang bagaimana perhitungan Pajak Penghasilan bagi dokter ini di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak. Penjelasan ini diberikan dalam bentuk file pdf..
www.pajak.go.id

SPT Masa PPh Pasal 21 Baru

SPT Masa PPh Pasal 21 berubah! Ya, bentuk formulir SPT Masa PPh Pasal 21 berubah dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2009.

Ketentuan ini mengatur tentang bentuk formulir SPT Masa PPh Pasal 21 yang merupakan kelanjutan dari terbitnya PER-31/PJ/2009 sebagai petunjuk pemotongan PPh Pasal 21.

SPT Masa PPh Pasal 21 Baru (Tidak Ada Lagi SPT Tahunan Pasal 21)

Ketika kemarin saya memberikan sosialisasi PPh Pasal 21 kepada beberapa koperasi, ada seorang ibu menanyakan tentang bagaimana nasibnya bukti potong PPh Pasal 21 pegawai tetap 1721 A1, padahal SPT Tahunan sudah pasti tidak akan ada lagi tahun depan sementara 1721 A1 adalah bagian dari SPT Tahunan PPh Pasal 21. Pertanyaan ini sebenarnya pertanyaan saya dan banyak orang sejak disahkannya UU Nomor 28 Tahun 2007. Waktu itu saya hanya menjawab, nanti akan ada peraturan yang mengatur bentuk formulir PPh Pasal 21 ini. Nah, pagi ini, ketika saya buka portaldjp tenyata ada peraturan tersebut yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2009.

PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah

Baru-baru ini Menteri Keuangan mengeluarkan peraturan tentang PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang merupakan bagian dari program stimulus fiskal. Berikut adalah beberapa informasi tentang PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang saya susun dalam bentuk pertanyaan.

Apa latar belakang insentif PPh Pasal 21 DTP?

Latar belakang pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP ini adalah dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja.

Apa dasar hukum pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2009

Siapa yang berhak atas PPh Pasal 21 DTP?

Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah ini diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam satu bulan

Apa yang dimaksud dengan kategori usaha tertentu tersebut?

Kategori usaha tertentu tersebut adalah adalah kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan, kategori usaha perikanan, dan kategori usaha industri pengolahan yang rinciannya tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009.


Apa yang dimaksud dengan penghasilan bruto?

Dalam penghitungan PPh Pasal 21, penghasilan bruto adalah penghasilan-penghasilan yang diberikan pemberi kerja kepada pekerja, pegawai atau karyawan yang merupakan objek pajak sebelum dikurangi pengurang yang diperkenankan seperti iuran pensiun dan biaya jabatan.

Apakah insentif PPh Pasal 21 DTP ini berlaku juga bagi pegawai yang tidak ber NPWP

PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah ini diberikan kepada seluruh pekerja yang memenuhi syarat sampai dengan masa Juni 2009. Mulai masa Juli 2009, insentif PPh Pasal 21 DTP ini diberikan kepada pekerja yang memenuhi syarat dan telah memiliki NPWP.

Jika PPh Pasal 21 selama ini ditanggung perusahaan, apakah insentif PPh Pasal 21 DTP ini untuk karyawan atau untuk perusahaan?

Walaupun PPh Pasal 21 selama ini ditanggung pemberi kerja, insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah ini tetap harus diberikan kepada pekerja yang memenuhi syarat.

Apakah PPh Pasal 21 DTP ini dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan?

Ya, PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah ini dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi pekerja atau karyawan.

Bagaimana dengan mekanisme pelaporan oleh perusahaan selaku pemberi kerja?

1. Pemberi kerja wajib menyampaikan realisasi pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan.
2. Atas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah wajib dibuatkan Surat Setoran Pajak yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NO 43/PMK.03/2009” oleh pemberi kerja.
3. Formulir dan Surat Setoran Pajak tersebut dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak yang sama.
4. Pemberi kerja wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sampai kapankah insentif PPh Pasal 21 DTP dapat dinikmati?

Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah berlaku untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang untuk Masa Pajak Februari 2009 sampai dengan Masa Pajak November 2009 dan dilaporkan paling lama tanggal 20 Desember 2009

PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap 2009

Berikut ini akan dibahas mengenai tata cara, tarif dan contoh penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009.

Dasar hukum:
• Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2009
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK. 03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan

Pengertian Pegawai Tidak Tetap
Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Jenis Penghasilan Pegawai Tidak Tetap
Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;

1. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
2. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
3. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
4. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.

Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap adalah:

a. Penghasilan Kena Pajak yang penghasilannya di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima selama 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk wajib pajak sendiri.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan ( Rp 150.000,00 sehari), sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.

Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tidak tetap adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP sebulan adalah PTKP dibagi 12 (dua belas).
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah bagi:
• Wajib Pajak : Rp 15.840.000,- setahun
• Tambahan status kawin : Rp 1.320.000,-
• Istri Bekerja : Rp 15.840.000,-
• Tambahan tanggungan : Rp 1.320.000,- (Maksimal 3)

Bagian Penghasilan yang Tidak dikenakan Pemotongan PPh Pasal 21
Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan:
• Batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sampai dengan jumlah Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari
• Ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto jumlahnya melebilhi Rp 1.320.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.
• Ketentuan di atas tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak di bayar secara bulanan
Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari;
b. Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah), dan bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
• Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
• Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender yang melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri, maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
• PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
• PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
• Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Tarif PPh Pasal 21
1. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan
2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (5%) diterapkan atas:
o jumlah penghasilan bruto di atas bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan ; atau
o jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
3. Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000,00 ( enam juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.


Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan:
1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari; – Upah/uang saku mingguan dibagi 6;
o Upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
o Upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
2. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp. 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
3. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp. 150.000,00 dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp. 150.000,00, dikalikan 5%.
4. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp. 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang terutang dihitung dengan mengurangkan PTKP yang sebenarnya, yaitu sebanding dengan banyaknya hari, dari jumlah upah bruto yang bersangkutan.

Contoh PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan

DENGAN UPAH HARIAN

Contoh penghitungan :
Arifin dengan status belum menikah. pada bulan Januari 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Jaya Makmur. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp 150.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Upah sehari Rp 150.000,00
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh Rp 150.000,00
Penghasilan Kena Pajak Sehari Rp 0
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah Sehari : Rp 0

Sampai dengan hari ke-8, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.
Misalkan Arifin bekerja selama 9 hari, maka pada hari ke-9, setelah jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.

Upah s.d. hari ke-9 (Rp 150.000,00 x 9) Rp 1.350.000
PTKP sebenarnya (Rp 15.840.000 x 9/360) Rp 396.000
Penghasilan Kena Pajak s.d. hari ke-9 Rp 954.000

PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-9
Rp 954.000 x 5% Rp 47.700
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-8 Rp –
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-9 Rp 47.700
Sehingga pada hari ke-9, upah bersih yang diterima sebesar :
Rp 150.000,00 – Rp 47.700 = Rp 102.300,00

Misalkan Arifin bekerja selama 10 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-10 adalah sebagai berikut :
Upah s.d. hari ke-10 (Rp 150.000,00 x 10) Rp 1.500.000
PTKP sebenarnya (Rp 15.840.000 x 10/360) Rp 440.000
Penghasilan Kena Pajak s.d. hari ke-10 Rp 1.060.000
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-10
Rp 1.060,00 x 5% Rp 53.000,00
PPh Pasal 21 telah dipotong s.d hari ke-9 Rp 47.700,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-10 Rp 5.300,00

Sehingga pada hari ke-10, Arifin menerima upah bersih sebesar :
Rp 150.000,00 – Rp 5.300,00 = Rp 144.700,00


DENGAN UPAH SATUAN

Contoh penghitungan :

Tono adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV pada suatu perusahaan elektronika, dia tidak menikah. Upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp 25.000,00 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 30 buah TV dengan upah Rp 960.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 :

Upah sehari adalah
Rp 960.000,00 : 6 Rp 160.000

Upah diatas Rp 150.000,00 sehari
Rp 160.000,00 – Rp 150.000,00 Rp 10.000

Upah seminggu terutang pajak
6 x Rp 10.000,00 Rp 60.000

PPh Pasal 21
5% : Rp 60.000,00 = Rp 3.000,00 (Mingguan)


DENGAN UPAH BORONGAN

Contoh Penghitungan :

Bayu mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp 400.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.
Upah borongan sehari : Rp 400.000,00 : 2 = Rp 200.000
Upah harian diatas Rp 150.000,00
Rp 200.000,00 – Rp 150.000,00 Rp 50.000

Upah borongan pajak
2 x Rp 50.000,00 Rp 100.000

PPh Pasal 21
5% x Rp 100.000,00 = Rp 5.000


Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan :
• PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah upah bruto yang yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.

Contoh:
Hidayat bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2009 Hidayat hanya bekerja 20 hari kerja dan upah sehari adalah Rp 100.000,00. Hidayat menikah tetapi belum memiliki anak.

Penghitungan PPh Pasal 21

Upah Januari 2009= 20 x Rp 100.000,00 = Rp 2.000.000
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp 2.000.000,00 = Rp 24.000.000

PTKP (K/-) adalah sebesar
Untuk WP sendiri Rp 15.840.000,00
tambahan karena menikah Rp 1.320.000,00
Rp 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak Rp 6.840.000

PPh Pasal 21 setahun adalah sebesar :
5% x Rp 6.840.000,00 = Rp 342.000

PPh Pasal 21 sebulan adalah sebesar :
Rp 342.000,00 : 12 Rp 28.500

Perhitungan Pajak PPh 21 Tenaga Ahli

Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009, perhitungan pajak PPh 21 untuk jasa tenaga ahli (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, aktuaris) sebagai berikut :

• Dasar Pengenaan Pajak (DPP) : 50% x Penghasilan Bruto
• PPh 21 : Tarif Pasal 17 x DPP kumulatif

Contoh kasus :
Bulan Maret 2009, jasa tenaga ahli sebesar 80 juta.
DPP : 80 juta x 50% = 40 juta
DPP kumulatif : 40 juta
PPh 21 yang harus dipotong : 5% x 40 juta = 2.000.000

Bulan Mei 2009, jasa tenaga ahli sebesar 60 juta.
DPP : 60 juta x 50% = 30 juta
DPP kumulatif : 40 juta + 30 juta = 70 juta
PPh 21 :
5% x 10 juta = 500.000
15% x 20 juta = 3.000.000
PPh 21 yang harus dipotong : 3.500.000

Jika si pemberi jasa tidak punya NPWP, maka akan dipotong sebesar 120%.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Bagi sebagian orang pribadi yang memiliki usaha kewajiban membuat pembukuan merupakan suatu hal yang sulit dilakukan selain karena kurangnya pengetahuan mengenai Akuntansi juga mungkin tidak efisien jika harus mempekerjakan karyawan hanya untuk membuat pembukuan. Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak orang pribadi boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sehingga tidak perlu membuat pembukuan tetapi cukup hanya membuat pencatatan.

Aturan pelaksanaan mengenai Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 536/PJ./2000 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.03/2007.
Orang Pribadi yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.
3. Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Sesuai dengan UU PPh yang baru yaitu UU Nomor 36 tahun 2008 maka sejak 1 Jan 2009 batasan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan berubah dengan peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 menjadi Rp 4.800.000.000.

Kewajiban Bagi Penggunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

1. Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.
2. Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
3. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Wajib Pajak yang menyelenggarakan Pembukuan

1. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyeIenggarakan pembukuan, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan.


Besarnya Norma penghitungan Penghasilan Neto

(1) Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut :

a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,

Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;

b. ibukota propinsi lainnya;

c. daerah lainnya.

(2) Daftar Persentase Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.


Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas

1. Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah di atas.
2. Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Menghitung Penghasilan Neto

1. Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) tahun.
2. Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
,

Tarif Baru PPh dan PTKP

Salah satu perubahan mendasar yang dilakukan oleh Undang-undang Pajak Penghasilan baru adalah berubahnya tarif umum Pajak Penghasilan yang diatur dalam Pasal 17. Baik tarif untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, kedua-duanya mengalami perubahan. Namun demikian, sifat perubahannya berbeda. Apabila tarif PPh Orang Pribadi hanya berubah dalam hal tarif dan lapisan kena pajaknya, tetapi perubahan tarif PPh badan lebih ke jenis tarifnya yaitu dari tarif proporsional menjadi tarif tunggal (single tax).

Tarif PPh Orang Pribadi
Sampai dengan tahun pajak 2008, tarif PPh Orang Pribadi adalah sebagai berikut :
1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 25 Juta kena tarif 5%
2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 25 Juta s.d. Rp 50 Juta kena tarif 10%
3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta kena tarif 15%
4. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 100 Juta s.d. Rp 200 Juta kena tarif 25%
5. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 200 Juta kena tarif 35%

Mulai tahun 2009, struktur tarifnya adalah sebagai berikut :
1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 50 Juta kena tarif 5%
2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 250 Juta kena tarif 15%
3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 250 Juta s.d. Rp 500 Juta kena tarif 25%
4. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 500 Juta kena tarif 30%

Dari struktur tarif di atas terlihat bahwa perubahannya terletak pada pengurangan lapisan kena pajak, penurunan tarif tertinggi, dan perubahan rentang lapisan kena pajak. Sistem pentarifannya masih merupakan tarif proporsional. Namun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa perubahan tarif pada Wajib Pajak Orang Pribadi ini bersifat menurunkan tarif pajak. Hal ini berarti bisa kita baca sebagai keuntungan bagi masyarakat Wajib Pajak dan adanya potensi penurunan penerimaan pajak bagi negara.

Tarif PPh Badan
Sampai dengan tahun pajak 2008, tarif Pajak Penghasilan Badan menganut tarif proporsional dengan struktur sebagai berikut :
1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 50 Juta kena tarif 10%
2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta kena tarif 15%
3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 Juta kena tarif 30%

Mulai tahun pajak 2009, tarif PPh Badan menganut sistem tarif tunggal atau single tax yaitu 28% dan akan menjadi 25% pada tahun 2010. Jadi berapapun penghasilan kena pajaknya, tarif yang dikenakan adalah satu yaitu 28% atau 25%. Khusus untuk perusahaan terbuka yang memenuhi syarat tertentu, tarif PPh Badan nya adalah 5% lebih rendah dari tarif umum.

Secara umum, perubahan tarif PPh Badan ini menguntungkan bagi perusahaan-perushaan besar yang biasanya kena tarif lapisan tertinggi 30%. Namun bagi perusahaan-perusahaan kecil, yang biasanya kena tarif dengan lapisan kena pajak rendah tentu saja akan merugikan karena akan mengalami kenaikan tarif. Namun demikian, ada ketentuan baru dalam Pasal 31E yang memberikan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum untuk Wajib Pajak badan yang omzetnya tidak lebih dari Rp50 Milyar yang dikenakan terhadap penghasilan kena pajak dari bagian omzet sampai dengan Rp4,8 Milyar.

PTKP Baru 2009
Sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tahun 2009 adalah sebagi berikut :
• Rp15.840.000,- untuk diri Wajib Pajak
• Rp1.320.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
• Rp15.840.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
• Rp1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota kelauarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenugnya, maksimal tiga orang untuk tiap keluarga

Subjek Pajak

Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.

Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
c. orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
d. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
e. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian ‘badan’ adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapu n, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, erkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, embaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.

Setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.

Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
a. dibentuk berdasarkan peraturan perundang -undangan yang berlaku; dan
b. dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; dan
c. penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
d. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
e. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
f. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bentuk usaha tetap / BUT ( permanent establishment ) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, p ertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

UU Pajak Penghasilan menganut resident principle untuk Wajib Pajak dalam negeri dan source principle untuk Wajib Pajak luar negeri, yang terlihat dari perlakuan pajaknya, yakni sebagai berikut:

a. Wajib Pajak dalam negeri :
1). dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia;
2). berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum;
3). wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

b. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT :
pemenuhan kewajiban perpajaka nnya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri, namun terbatas pada penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

c. Wajib Pajak luar negeri non -BUT :
1). dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
2). berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
3). tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Kapan bermula dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ?
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri: (a) dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia; (b) berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
2. Wajib Pajak badan dalam negeri: (a) dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; (b) berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Warisan yang belum terbagi: (a) dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut; (b) berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
4. Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui BUT: (a) dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT; (b) berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.
5. Wajib Pajak Orang pribadi atau badan luar negeri non-BUT: (a) dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia; (b) berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Siapa Subjek Pajak?

Diantara postingan yang paling banyak mendapat komentar dan pertanyaan adalah postingan tentang subjek pajak. Ini diluar perkiraan saya sendiri. Pertanyaan melalui email kebanyakan dari para pekerja yang berdomisili di Luar Negeri lebih dari 183 hari.

Memang, seperti disebutkan di Pasal 1, bahwa Pajak Penghasilan itu dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Kemudian pantas jika timbul pertanyaan : siapa subjek pajak itu?

Ketentuan tentang subjek pajak diatur di Pasal 2 UU PPh 1984. Sedangkan Pasal 3 UU PPh 1984 mengatur bukan subjek pajak. Karena agak panjang, kali ini catatan tentang subjek pajak dibagi ke dalam lima bagian yaitu : subjek pajak, subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri, subjek BUT, dan bukan subjek pajak.

Pasal 2 ayat (1), ayat (1a) dan ayat (2) berbunyi :

(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a.1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

b. badan; dan

c. bentuk usaha tetap.

(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Penjelasan :
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.

Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;

b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;

c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Catatan :
Prakteknya, subjek pajak yang banyak dipakai ada dua saja yaitu, orang pribadi dan badan atau WPOP dan WP Badan. Sementara warisan yang belum terbagi ditetapkan sebagai subjek pajak hanya untuk keperluan penagihan pajak. Bukankah warisan benda mati? Sementara subjek pajak adalah subjek hukum yang oleh undang-undang perpajakan diberikan kewajiban. Warisan tentu saja tidak bisa melaksanakan kewajiban perpajakan seperti halnya WPOP. Sedangkan bentuk usaha tetap atau BUT seperti diatur di Pasal 1a diperlakukan seperti WP Badan.

Perhatikan kalimat di bagian penjelasan, “Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.” Jika diumpamakan warisan itu seekor ayam, dan telur ayam itu penghasilan maka kantor pajak akan memungut pajak telur ayam. Karena pemilik ayam sudah meninggal, maka siapa yang menjadi subjek pajak? Nah supaya kantor pajak bisa memungut pajak telur ayam itu, ditetapkanlah ayam itu sebagai subjek pajak. Si ayam akan tetap sebagai subjek pajak sampai si ayam jelas “diwariskan”. Kemudian jika sudah diwariskan, maka subjek pajak akan berpindah ke pemilik ayam.

Banyak yang belum paham perbedaan kewajiban subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar negeri. Di penjelasan diatas disebutkan perbedaan subjek pajak dalam negeri vs subjek pajak luar negeri. Walaupun bukan merupakan batang tubuh [tidak mengikat] tetapi penjelasan merupakan satu kesatuan.
Maksud saya, penjelasan tidak mungkin bertentangan dengan batang tubuh UU.

Permanent establishment

Permanent establishment atau dalam bahasa Indonesia Bentuk Usaha Tetap [BUT] adalah istilah penting dalam perpajakan Internasional karena berkaitan dengan

[a.] taxing right atau hak pemajakan.
[b.] source rules yaitu sekumpulan ketentuan hukum yang menentukan apa syarat-syaratnya bagi suatu jenis penghasilanagar negara tempat diterimanya penghasilan itu menjadi negara sumber yang berhak memungut pajak atas penghasilan.
[c.] threshold atau ambang batas yaitu kriteria yang memungkinkan suatu negara sumber untuk memajaki penghasilan usaha antar negara.

Hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentuk Usaha Tetap [BUT].

Sebelum lebih jauh, tulisan ini berkaitan dengan BUT di tax treaty. Karena itu dibawah disebut OECD model dan UN model. OECD model dibuat oleh negara-negara maju, sedangkan UN model dibuat oleh para ahli perpajakan PBB tetapi dasarnya tetap OECD model. Boleh dibilang UN model adalah modifikasi OECD model. Keduanya adalah contoh yang menjadi acuan negara-negara dalam negosiasi tax treaty. Karena masih “model” maka dalam tax treaty yang disepakati, mungkin saja tidak sama dengan modelnya.

Jika kegiatan usaha dilakukan oleh BUT maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights). Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak. OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on


Menurut Pak Rachmanto Surahmat [dalam buku yang berjudul Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda – sebuah pengantar], fixed place sebagaimana diatur di Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat :
a. adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam;
b. tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan
c. kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.

Pada dasarnya, BUT dikelompokkan ke dalam empat tipe :
[1.] Tipe aset
BUT tipe aset ini disebutkan di Pasal 5 ayat (1). Tipe Aset memiliki tiga ciri atau karakteristik atau pengujian [test], yaitu :
[1.a.] place of business, yaitu tempat baik satu ruangan kecil atau kantor yang lebih luas. Tempat tersebut bisa milik sendiri atau hanya sewa yang penting perusahaan luar negeri memiliki hak untuk menggunakan tempat tersebut. Karena itu, pada era digital ini isu server komputer menjadi topik hangat. Salah satu tulisan di blog yang berkaitan dengan e-commerce ditulis oleh Pak Rusdi Yanis.

[1.b.] fixed, yaitu derajat kepermanenan baik secara geografis (dimensi ruang) maupun berkelanjutan (dimensi waktu). Ini menurut Pak Gunadi [dalam buku yang berjudul Pajak Internasional]. Perlu ada hubungan antara komersial dan geografis [commercial and geographic coherence] secara nature of the business. Tetapi menurut Pak Rachmanto Surahmat, “tetap” berkaitan antara tempat tersebut dan titik geografis. Keberadaan suatu peralatan di satu lokasi sudah cukup untuk dianggap berada di satu tempat tetap.

[1.c.] doing business through that fixed place.

[2.] Tipe aktivitas
BUT tipe aktivitas ada dua:
[2.a.] proyek bangunan, konstruksi, perakitan, instalasi, atau aktivitas supervisi untuk proyek tersebut selama 12 bulan. Ini yang ada di OECD model. Tetapi di UN model time test menjadi 6 bulan saja.

[2.b.] kegiatan jasa termasuk konsultasi yang dilakukan perusahaan di negara lain selama 6 bulan dalam 12 bulan. Di OECD model jasa ini tidak diatur secara khusus tapi di UN model diatur yaitu di Pasal 5 ayat (3) huruf b. Negara-negara maju berpendirian bahwa jasa teknik dikenakan di negara domisili kecuali melalui agen tidak bebas. Tetapi negara-negara berkembang yang tergabung dalam UN tax experts group berpendapat bahwa hal ini merugikan mereka sehingga kegiatan pemberian jasa ditetapkan sebagai BUT jika melewati time test. Berbeda dengan [2.a.] diatas, time test jasa tidak perlu terus-menerus. Bisa putus-putus yang penting dalam 12 bulan ada 6 bulan. Pemberian jasa ini bisa dilakukan oleh pegawai perusahaan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut.

[3.] Tipe agen
Tidak semua agen merupakan BUT. Agen dibagi dua yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Nah, agen yang manjadi BUT adalah agen tidak bebas. Hal ini diatur di Pasal 5 ayat (5) OECD model. Bahwa orang atau badan dapat ditetapkan sebagai BUT jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas. Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal :
[3.a.] Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.

[3.b.] Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.

[3.c.] Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

[4.] Tipe asuransi
Ada perbedaan antara OECD model dengan UN model berkaitan dengan BUT asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5) yaitu melalui agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi.

UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai BUT apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7). Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Biasanya ada pengecualian di tax treaty yang biasanya disebutkan di Pasal 5 ayat (4).
Sebagai contoh, berikut ini Pasal 5 ayat (4) tax treaty IndonesiaChina :

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, istilah "bentuk usaha tetap" dianggap tidak mencakup:
a). penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;

b). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;

c). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;

d) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan, atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan;

e) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata untuk tujuan periklanan atau penyediaan informasi;

f) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang, bagi keperluan perusahaan

g) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan gabungan kegiatan-kegiatan seperti disebutkan pada sub-ayat a) sampai dengan sub ayat e), sepanjang kegiatan-kegiatan tempat usaha tetap yang merupakan hasil penggabungan tadi bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang.