Cara Menghitung PPh Orang Pribadi

Berikut ini adalah langkah-langkah dalam melakukan perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri secara umum. Perhitungan ini berguna untuk mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.


Langkah Pertama : Identifikasi Jenis Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final.

Penghasilan yang sudah dikenakan Pajak Penghasilan final tidak dihitung lagi PPh nya dalam SPT Tahunan. Demikian juga PPh Final yang sudah dipotong atau dibayar tidak akan dikreditkan dalam SPT Tahunan. Beberapa jenis penghasilan yang dikenakan PPh final di antaranya adalah bunga deposito/tabungan, hadiah undian, laba dari transaksi penjualan tanah/bangunan, dan penghasilan dari transaksi penjaualan saham di bursa efek.
Silahkan baca tulisan saya tentang PPh Final pada link berikut : Pajak Penghasilan Final.


Langkah Kedua : Identifikasi Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak

Ada beberapa jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan di antaranya adalah bantuan, sumbangan dan warisan. Penghasilan-penghasilan ini tidak dikenakan Pajak Penghasilan sehingga harus kita keluarkan dari daftar penghasilan yang menjadi dasar perhitungan Pajak Penghasilan.


Langkah Ketiga : Identifikasi Jenis Penghasilan Selain Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final dan Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak

Penghasilan yang tidak dikenakan PPh Final dan juga yang bukan termasuk penghasilan yang bukan objek pajak inilah yang merupakan dasar kita melakukan perhitungan Pajak Penghasilan dalam satu tahun pajak yang akan dituangkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.


Langkah Keempat : Identifikasi Jenis Penghasilan Yang Objek Pajak Tidak Final

Setelah kita mendapatkan penghasilan yang merupakan objek pajak tetapi tidak final sebagaimana dalam langkah ketiga, maka selanjutnya kita identifikasikan penghasilan-penghasilan ini ke dalam tiga jenis penghasilan yaitu :

1.Penghasilan dari Usaha/Pekerjaan Bebas
2.Penghasilan dari Pekerjaan
3.Penghasilan Lain-lain

Langkah Kelima : Hitung Penghasilan Neto Masing-masing Jenis Penghasilan

Penghasilan neto tiap-tiap jenis penghasilan dihitung dengan cara penghasilan bruto dikurangi dengan pengurang atau biaya. Masing-masing jenis penghasilan berbeda jenis pengurangnya. Untuk penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas, pengurangnya adalah biaya-biaya usaha yang terkait dengan usaha/pekerjaan bebas seperti biaya pegawai, biaya administrasi, biaya pemasaran, biaya penyusutan atau biaya sewa. Perhatikan juga dalam bagian ini biaya yang dapat dibebankan (deductible) dan biaya yang tidak dapat dibebankan (non deductible). Untuk penghasilan dari pekerjaan, pengurangnya adalah iuran pensiun/THT yang berasal dari gaji dan biaya jabatan. Sementara itu penghasilan lain-lain, seperti dividen, komisi atau hadiah pengurangnya adalah biaya yang terkait dengan perolehan penghasilan tersebut.


Langkah Keenam : Jumlahkan Seluruh Penghasilan Neto

Penghasilan neto masing-masing jenis penghasilan kita jumlahkan (termasuk penghasilan istri yang digabung dan penghasilan anak yang belum dewasa).


Langkah Ketujuh : Hitung Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari total penghasilan neto dikurang dengan zakat atas penghasilan, kompensasi kerugian dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).


Langkah Kedelapan : Hitung Pajak Penghasilan Terutang

Pajak Penghasilan (PPh) terutang dihitung dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif Pasal 17 atau tarif umum.

Fasilitas bagi perusahaan terbuka

Bagi perusahaan yang sudah terbuka (listing di bursa saham) sekarang sudah bisa menikmati fasilitas Pajak Penghasilan berupa tarif yang lebih rendah 5% dari tarif pajak pada umumnya. Pada tanggal 30 Desember 2008 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 ini tarif yang

Cash basis bagi penjual tanah

Mulai tanggal 1 Januari 2009 terhadap penghasilan yang diterima oleh pengembang atas penjualan rumah sederhana [RS] dan rumah susun sederhana [RSS] terutang Pajak Penghasilan sebesar 1% FINAL. Pengembang yang saya maksud adalah semua penjual yang USAHA POKOKnya jual beli tanah dan atau bangunan. Jika pengembang tersebut menjual RS dan non-RS maka berlaku dua tarif. Satu tarif 5% berlaku bagi siapapun penjual tanah dan/atau bangunan, satunya lagi 1% khusus berlaku untuk pengembang dan produk RS & RSS. Pengertian RS & RSS sama antara PPh dan PPN karena mengacu ke Peraturan Menteri Perumahan Rakyat. Artinya, RS dan RSS selain bebas PPN juga PPh-nya hanya 1%.

Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Penjualan Tanah / Bangunan

Telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 yang mengatur tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Peraturan Pemerintah ini adalah rangkaian Peraturan Pemerintah sebelumnya yang mengatur hal yang sama.

Pertama kali Peraturan Pemerintah yang mengatur hal ini adalah PP Nomor 48 Tahun 1994 yang berlaku mulai 1 Januari 1995. PP ini kemudian diubah dengan PP Nomor 27 Tahun 1996 dan PP Nomor 79 Tahun 1999. Dengan PP Nomor 79 Tahun 1999 yang mulai berlaku 1 Januari 2000 ini, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak yang bergerak

Pajak Penghasilan Final Atas Tanah dan/atau Bangunan

Ruang Lingkup
Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Besarnya Pajak Penghasilan Final yang terutang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan sewa tanah dan/atau bangunan adalah sebesar

PPh atas Bunga Obligasi

Tgl 9 Pebruari ini Presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2009 tentang “Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi” yang berlaku surut sejak 1 Jan 2009.

Dalam PP No 16 tahun 2009 tersebut diatur hal-hal sbb :

Pasal 1 :

Dalam PP ini, yang dimaksud dengan :

1. Obligasi adalah surat utang atau surat utang negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan

2. Bunga Obligasi adalah Imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto

PPh Kegiatan Usaha Berbasis Syariah

Kegiatan ekonomi berbasis syariah memiliki karakteristik tersendiri. Waktu kuliah di Jurangmangu, seorang dosen malah berkomentar waktu pendirian Bank Muamalat, “Bank kok jualan barang.” Karena itu, tidak sedikit pejabat DJP juga berpendapat jika atas pembiayaan yang berasal dari bank syariah terutang PPN. Hal ini karena dia melihat bahwa nasabah bank syariah ternyata membeli barang ke bank syariah bukan kepada penjual barang.

Pemotongan PPh atas Dividen

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal Pasal 17 ayat (2d) UU PPh 1984 amandemen 2008, pemerintah pada tanggal 9 Februari 2009 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2009. Walaupun berisi empat pasal tetapi pada intinya, peraturan pemerintah ini hanya dua pasal karena pasal 3 berisi pelimpahan wewenang ke menteri keuangan dan pasal 4 merupakan saat berlakunya peraturan pemerintah ini yaitu 1 Januari 2009 atau berlaku mundur. Berikut kutipan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2009 :

Daftar Objek PPh Pasal 23

Sebelum tahun 2009, saat terutang PPh Pasal 23 adalah saat dibayar atau terutang. Mana yang lebih cepat. Sejak tahun 2009 terjadi perubahan saat terutang dikarenakan pengakuan beban biaya dalam pembukuan (akhir tahun buku) tidak menjadikan timbulnya kewajiban pembayaran atau hak atas suatu penghasilan. Karena itu, sekarang PPh Pasal 23 terutang saat :

Keberatan

Pendahuluan

Seperti kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment di mana dengan sistem ini Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang. Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak.
,

PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang diterima Tenaga Ahli

Dengan diterbitkannya PER-31/PJ./2009 tanggal 25 Mei 2009 besarnya PPh pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi (“WPOP”), selaku tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (“Tenaga Ahli”) dirubah. Besarnya tariff PPh pasal 21 atas imbalan yang dibayarkan kepada tenaga ahli yang berlaku sebelum tahun 2009, sebagaimana diatur dalam KEP-545/PJ./2000 Jo PER-15/PJ./2006 adalah sebesar

PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Dokter

Pada tahun 2009 ini berlaku Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Salah satu hal yang mengalami perubahan adalah ketentuan tentang pemotongan PPh Pasal 21. Ketentuan pelaksanaan tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2009 tanggal 31 Desember 2008 dengan petunjuk teknisnya diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009. Berdasarkan bingkai dua ketentuan inilah saya menuliskan tentang pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dokter.

Ketentuan Dalam Peraturan Menteri Keuangan
Dokter dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 ini termasuk dalam kelompok tenaga ahli. Tenaga ahli sendiri masuk dalam kelompok penerima penghasilan bukan pegawai seperti kita temukan dalam Pasal 3 peraturan ini. Definisi Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Bagaimana cara menghitung PPh Pasal 21 nya? Dasar pengenaan pajaknya adalah Penghasilan Kena Pajak (Pasal 9) di mana Penghasilan Kena Pajak ii adalah Penghasilan Bruto dikurangi PTKP (Pasal 10 ayat 2). Namun demikian, pengurangan PTKP ini harus memenuhi syarat sebagaiamana diatur dalam Pasal 12 di antaranya adalah hanya berpenghasilan dari pemotong pajak saja. Bagi dokter sarat ini nampaknya sulit dipenuhi karena biasanya dia punya sumber penghasilan lain.

Dengan demikian, pengenaan PPh Pasal 21 atas dokter yang berstatus bukan sebagai pegawai adalah dengan menerapkan tarif Pasal 17 kali kumulatif penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c. Kata-kata ”kumulatif” menunjukkan bahwa pengenaan tarif Pasal 17 memperhatikan penghasilan dokter bulan-bulan sebelumnya dalam satu tahun pajak.

Ketentuan Dalam Peraturan Dirjen Pajak
Dokter dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 termasuk pula dalam kelompok tenaga ahli di mana tenaga ahli juga masih termasuk dalam kelompok penerima penghasilan bukan pegawai. Namun demikian, cara perhitungan PPh Pasal 21 nya ”sedikit” menyimpang dari Peraturan Menteri Keuangan. Di Pasal 9 ayat (1) huruf c Peraturan Dirjen, dasar pengenaan pajak bagi tenaga ahli (berarti juga dokter) yang melakukan pekerjaan bebas adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto. Khusus mengenai dokter, Pasal 10 ayat (6) memberikan penjelasan tentang penghasilan bruto dokter yaitu bahwa dalam hal penghasilan dokter yang melakukan praktek di rumah sakit atau klinik maka penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar pasien melalui rumah sakit/klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit/klinik.

Bagaimana Prakteknya?
Nah, jika melihat penjelasan di atas nampaknya ada perbedaan cara menghitung PPh Pasal 21 atas dokter yang praktek di rumah sakit/klinik. Dalam peraturan menteri, PPh Pasal 21 atas dokter ini adalah sebesar tarif pasal 17 dikalikan kumulatif penghasilan bruto. Namun demikian, di peraturan Dirjen, PPh Pasal 21 dokter ini adalah sebesar tarif Pasal 17 dikalikan penghasilan bruto (tanpa kumulatif?). Nah, kalau bagi dokter sih tentunya lebih menguntungkan perhitungan dari peraturan Dirjen karena ada pengurang 50% walaupun tarif dikenakan terhadap penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit.

Nah, untuk memperjelas bagaimana cara menghitungnya, khusus dokter, ada contohnya di lampiran PER-31/PJ/2009. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa penghitungan PPh Pasal 21 atas dokter adalah dengan menerapkan tarif Pasal 17 terhadap kumulatif 50% penghasilan bruto tanpa memperhatikan berapa persen berapa bagian bagi hasil buat rumah sakit/klinik. Untuk menjelaskan ini saya buatkan contoh sangat sederhana di bawah ini.

Misalkan dr. Prita praktek di RS Internasional dengan perjanjian bagi hasil jasa dokter 80% buat dokter dan 20% buat rumah sakit dari jasa dokter yang dibayar pasien. Jasa dokter yang dibayar pasien buat dr. Prita pada bulan Januari Rp50.000.000 dan bulan Pebruari 60.000.000. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh RS Omni International pada bulan Januari adalah 5% x 50% x Rp50 jt = Rp. 1.250.000.
Bagaimana dengan bulan Pebruari?. Kumulatif 50% penghasilan bruto bulan Pebruari adalah 50% x (Rp50 jt + Rp60 jt) = Rp55 Juta. Dasar pengenaan pajak bulan Pebruari adalah Rp55 juta – Rp25 juta = Rp 30 juta. Nah, dari Rp 30 Juta ini, 25 Juta kena tarif 5% dan di atasnya Rp5 Juta kena tarif 15%. Jadi, PPh Pasal 21 bulan Pebruari adalah 5%x25 jt + 15%x5jt = Rp 2 Juta.
Ada penjelasan resmi tentang bagaimana perhitungan Pajak Penghasilan bagi dokter ini di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak. Penjelasan ini diberikan dalam bentuk file pdf..
www.pajak.go.id

SPT Masa PPh Pasal 21 Baru

SPT Masa PPh Pasal 21 berubah! Ya, bentuk formulir SPT Masa PPh Pasal 21 berubah dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2009.

Ketentuan ini mengatur tentang bentuk formulir SPT Masa PPh Pasal 21 yang merupakan kelanjutan dari terbitnya PER-31/PJ/2009 sebagai petunjuk pemotongan PPh Pasal 21.

SPT Masa PPh Pasal 21 Baru (Tidak Ada Lagi SPT Tahunan Pasal 21)

Ketika kemarin saya memberikan sosialisasi PPh Pasal 21 kepada beberapa koperasi, ada seorang ibu menanyakan tentang bagaimana nasibnya bukti potong PPh Pasal 21 pegawai tetap 1721 A1, padahal SPT Tahunan sudah pasti tidak akan ada lagi tahun depan sementara 1721 A1 adalah bagian dari SPT Tahunan PPh Pasal 21. Pertanyaan ini sebenarnya pertanyaan saya dan banyak orang sejak disahkannya UU Nomor 28 Tahun 2007. Waktu itu saya hanya menjawab, nanti akan ada peraturan yang mengatur bentuk formulir PPh Pasal 21 ini. Nah, pagi ini, ketika saya buka portaldjp tenyata ada peraturan tersebut yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2009.

PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah

Baru-baru ini Menteri Keuangan mengeluarkan peraturan tentang PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang merupakan bagian dari program stimulus fiskal. Berikut adalah beberapa informasi tentang PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang saya susun dalam bentuk pertanyaan.

Apa latar belakang insentif PPh Pasal 21 DTP?

Latar belakang pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP ini adalah dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja.

Apa dasar hukum pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2009

Siapa yang berhak atas PPh Pasal 21 DTP?

Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah ini diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tidak lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam satu bulan

Apa yang dimaksud dengan kategori usaha tertentu tersebut?

Kategori usaha tertentu tersebut adalah adalah kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan, kategori usaha perikanan, dan kategori usaha industri pengolahan yang rinciannya tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009.


Apa yang dimaksud dengan penghasilan bruto?

Dalam penghitungan PPh Pasal 21, penghasilan bruto adalah penghasilan-penghasilan yang diberikan pemberi kerja kepada pekerja, pegawai atau karyawan yang merupakan objek pajak sebelum dikurangi pengurang yang diperkenankan seperti iuran pensiun dan biaya jabatan.

Apakah insentif PPh Pasal 21 DTP ini berlaku juga bagi pegawai yang tidak ber NPWP

PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah ini diberikan kepada seluruh pekerja yang memenuhi syarat sampai dengan masa Juni 2009. Mulai masa Juli 2009, insentif PPh Pasal 21 DTP ini diberikan kepada pekerja yang memenuhi syarat dan telah memiliki NPWP.

Jika PPh Pasal 21 selama ini ditanggung perusahaan, apakah insentif PPh Pasal 21 DTP ini untuk karyawan atau untuk perusahaan?

Walaupun PPh Pasal 21 selama ini ditanggung pemberi kerja, insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah ini tetap harus diberikan kepada pekerja yang memenuhi syarat.

Apakah PPh Pasal 21 DTP ini dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan?

Ya, PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah ini dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi pekerja atau karyawan.

Bagaimana dengan mekanisme pelaporan oleh perusahaan selaku pemberi kerja?

1. Pemberi kerja wajib menyampaikan realisasi pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan.
2. Atas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah wajib dibuatkan Surat Setoran Pajak yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NO 43/PMK.03/2009” oleh pemberi kerja.
3. Formulir dan Surat Setoran Pajak tersebut dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak yang sama.
4. Pemberi kerja wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sampai kapankah insentif PPh Pasal 21 DTP dapat dinikmati?

Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah berlaku untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang untuk Masa Pajak Februari 2009 sampai dengan Masa Pajak November 2009 dan dilaporkan paling lama tanggal 20 Desember 2009

PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap 2009

Berikut ini akan dibahas mengenai tata cara, tarif dan contoh penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009.

Dasar hukum:
• Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2009
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi

• Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK. 03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan

Pengertian Pegawai Tidak Tetap
Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Jenis Penghasilan Pegawai Tidak Tetap
Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;

1. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
2. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
3. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
4. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.

Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap adalah:

a. Penghasilan Kena Pajak yang penghasilannya di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima selama 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk wajib pajak sendiri.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan ( Rp 150.000,00 sehari), sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.

Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tidak tetap adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP sebulan adalah PTKP dibagi 12 (dua belas).
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah bagi:
• Wajib Pajak : Rp 15.840.000,- setahun
• Tambahan status kawin : Rp 1.320.000,-
• Istri Bekerja : Rp 15.840.000,-
• Tambahan tanggungan : Rp 1.320.000,- (Maksimal 3)

Bagian Penghasilan yang Tidak dikenakan Pemotongan PPh Pasal 21
Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan:
• Batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sampai dengan jumlah Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari
• Ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto jumlahnya melebilhi Rp 1.320.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.
• Ketentuan di atas tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak di bayar secara bulanan
Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari;
b. Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah), dan bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
• Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
• Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender yang melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri, maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
• PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
• PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
• Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Tarif PPh Pasal 21
1. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan
2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (5%) diterapkan atas:
o jumlah penghasilan bruto di atas bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan ; atau
o jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
3. Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000,00 ( enam juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.


Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan:
1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari; – Upah/uang saku mingguan dibagi 6;
o Upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
o Upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
2. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp. 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
3. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp. 150.000,00 dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp. 150.000,00, dikalikan 5%.
4. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp. 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang terutang dihitung dengan mengurangkan PTKP yang sebenarnya, yaitu sebanding dengan banyaknya hari, dari jumlah upah bruto yang bersangkutan.

Contoh PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan

DENGAN UPAH HARIAN

Contoh penghitungan :
Arifin dengan status belum menikah. pada bulan Januari 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Jaya Makmur. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp 150.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Upah sehari Rp 150.000,00
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh Rp 150.000,00
Penghasilan Kena Pajak Sehari Rp 0
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah Sehari : Rp 0

Sampai dengan hari ke-8, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.
Misalkan Arifin bekerja selama 9 hari, maka pada hari ke-9, setelah jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.

Upah s.d. hari ke-9 (Rp 150.000,00 x 9) Rp 1.350.000
PTKP sebenarnya (Rp 15.840.000 x 9/360) Rp 396.000
Penghasilan Kena Pajak s.d. hari ke-9 Rp 954.000

PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-9
Rp 954.000 x 5% Rp 47.700
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-8 Rp –
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-9 Rp 47.700
Sehingga pada hari ke-9, upah bersih yang diterima sebesar :
Rp 150.000,00 – Rp 47.700 = Rp 102.300,00

Misalkan Arifin bekerja selama 10 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-10 adalah sebagai berikut :
Upah s.d. hari ke-10 (Rp 150.000,00 x 10) Rp 1.500.000
PTKP sebenarnya (Rp 15.840.000 x 10/360) Rp 440.000
Penghasilan Kena Pajak s.d. hari ke-10 Rp 1.060.000
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-10
Rp 1.060,00 x 5% Rp 53.000,00
PPh Pasal 21 telah dipotong s.d hari ke-9 Rp 47.700,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-10 Rp 5.300,00

Sehingga pada hari ke-10, Arifin menerima upah bersih sebesar :
Rp 150.000,00 – Rp 5.300,00 = Rp 144.700,00


DENGAN UPAH SATUAN

Contoh penghitungan :

Tono adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV pada suatu perusahaan elektronika, dia tidak menikah. Upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp 25.000,00 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 30 buah TV dengan upah Rp 960.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 :

Upah sehari adalah
Rp 960.000,00 : 6 Rp 160.000

Upah diatas Rp 150.000,00 sehari
Rp 160.000,00 – Rp 150.000,00 Rp 10.000

Upah seminggu terutang pajak
6 x Rp 10.000,00 Rp 60.000

PPh Pasal 21
5% : Rp 60.000,00 = Rp 3.000,00 (Mingguan)


DENGAN UPAH BORONGAN

Contoh Penghitungan :

Bayu mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp 400.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.
Upah borongan sehari : Rp 400.000,00 : 2 = Rp 200.000
Upah harian diatas Rp 150.000,00
Rp 200.000,00 – Rp 150.000,00 Rp 50.000

Upah borongan pajak
2 x Rp 50.000,00 Rp 100.000

PPh Pasal 21
5% x Rp 100.000,00 = Rp 5.000


Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan :
• PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh atas jumlah upah bruto yang yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.

Contoh:
Hidayat bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2009 Hidayat hanya bekerja 20 hari kerja dan upah sehari adalah Rp 100.000,00. Hidayat menikah tetapi belum memiliki anak.

Penghitungan PPh Pasal 21

Upah Januari 2009= 20 x Rp 100.000,00 = Rp 2.000.000
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp 2.000.000,00 = Rp 24.000.000

PTKP (K/-) adalah sebesar
Untuk WP sendiri Rp 15.840.000,00
tambahan karena menikah Rp 1.320.000,00
Rp 17.160.000
Penghasilan Kena Pajak Rp 6.840.000

PPh Pasal 21 setahun adalah sebesar :
5% x Rp 6.840.000,00 = Rp 342.000

PPh Pasal 21 sebulan adalah sebesar :
Rp 342.000,00 : 12 Rp 28.500

Perhitungan Pajak PPh 21 Tenaga Ahli

Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009, perhitungan pajak PPh 21 untuk jasa tenaga ahli (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, aktuaris) sebagai berikut :

• Dasar Pengenaan Pajak (DPP) : 50% x Penghasilan Bruto
• PPh 21 : Tarif Pasal 17 x DPP kumulatif

Contoh kasus :
Bulan Maret 2009, jasa tenaga ahli sebesar 80 juta.
DPP : 80 juta x 50% = 40 juta
DPP kumulatif : 40 juta
PPh 21 yang harus dipotong : 5% x 40 juta = 2.000.000

Bulan Mei 2009, jasa tenaga ahli sebesar 60 juta.
DPP : 60 juta x 50% = 30 juta
DPP kumulatif : 40 juta + 30 juta = 70 juta
PPh 21 :
5% x 10 juta = 500.000
15% x 20 juta = 3.000.000
PPh 21 yang harus dipotong : 3.500.000

Jika si pemberi jasa tidak punya NPWP, maka akan dipotong sebesar 120%.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Bagi sebagian orang pribadi yang memiliki usaha kewajiban membuat pembukuan merupakan suatu hal yang sulit dilakukan selain karena kurangnya pengetahuan mengenai Akuntansi juga mungkin tidak efisien jika harus mempekerjakan karyawan hanya untuk membuat pembukuan. Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak orang pribadi boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sehingga tidak perlu membuat pembukuan tetapi cukup hanya membuat pencatatan.

Aturan pelaksanaan mengenai Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 536/PJ./2000 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.03/2007.
Orang Pribadi yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.
3. Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Sesuai dengan UU PPh yang baru yaitu UU Nomor 36 tahun 2008 maka sejak 1 Jan 2009 batasan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan berubah dengan peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 menjadi Rp 4.800.000.000.

Kewajiban Bagi Penggunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

1. Wajib Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.
2. Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
3. Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Wajib Pajak yang menyelenggarakan Pembukuan

1. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyeIenggarakan pembukuan, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang bersangkutan.


Besarnya Norma penghitungan Penghasilan Neto

(1) Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut :

a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,

Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;

b. ibukota propinsi lainnya;

c. daerah lainnya.

(2) Daftar Persentase Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini.


Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas

1. Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah di atas.
2. Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha adalah penjumlahan penghasilan neto dari masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Menghitung Penghasilan Neto

1. Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) tahun.
2. Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
,

Tarif Baru PPh dan PTKP

Salah satu perubahan mendasar yang dilakukan oleh Undang-undang Pajak Penghasilan baru adalah berubahnya tarif umum Pajak Penghasilan yang diatur dalam Pasal 17. Baik tarif untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, kedua-duanya mengalami perubahan. Namun demikian, sifat perubahannya berbeda. Apabila tarif PPh Orang Pribadi hanya berubah dalam hal tarif dan lapisan kena pajaknya, tetapi perubahan tarif PPh badan lebih ke jenis tarifnya yaitu dari tarif proporsional menjadi tarif tunggal (single tax).

Tarif PPh Orang Pribadi
Sampai dengan tahun pajak 2008, tarif PPh Orang Pribadi adalah sebagai berikut :
1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 25 Juta kena tarif 5%
2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 25 Juta s.d. Rp 50 Juta kena tarif 10%
3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta kena tarif 15%
4. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 100 Juta s.d. Rp 200 Juta kena tarif 25%
5. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 200 Juta kena tarif 35%

Mulai tahun 2009, struktur tarifnya adalah sebagai berikut :
1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 50 Juta kena tarif 5%
2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 250 Juta kena tarif 15%
3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 250 Juta s.d. Rp 500 Juta kena tarif 25%
4. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 500 Juta kena tarif 30%

Dari struktur tarif di atas terlihat bahwa perubahannya terletak pada pengurangan lapisan kena pajak, penurunan tarif tertinggi, dan perubahan rentang lapisan kena pajak. Sistem pentarifannya masih merupakan tarif proporsional. Namun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa perubahan tarif pada Wajib Pajak Orang Pribadi ini bersifat menurunkan tarif pajak. Hal ini berarti bisa kita baca sebagai keuntungan bagi masyarakat Wajib Pajak dan adanya potensi penurunan penerimaan pajak bagi negara.

Tarif PPh Badan
Sampai dengan tahun pajak 2008, tarif Pajak Penghasilan Badan menganut tarif proporsional dengan struktur sebagai berikut :
1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 50 Juta kena tarif 10%
2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta kena tarif 15%
3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 Juta kena tarif 30%

Mulai tahun pajak 2009, tarif PPh Badan menganut sistem tarif tunggal atau single tax yaitu 28% dan akan menjadi 25% pada tahun 2010. Jadi berapapun penghasilan kena pajaknya, tarif yang dikenakan adalah satu yaitu 28% atau 25%. Khusus untuk perusahaan terbuka yang memenuhi syarat tertentu, tarif PPh Badan nya adalah 5% lebih rendah dari tarif umum.

Secara umum, perubahan tarif PPh Badan ini menguntungkan bagi perusahaan-perushaan besar yang biasanya kena tarif lapisan tertinggi 30%. Namun bagi perusahaan-perusahaan kecil, yang biasanya kena tarif dengan lapisan kena pajak rendah tentu saja akan merugikan karena akan mengalami kenaikan tarif. Namun demikian, ada ketentuan baru dalam Pasal 31E yang memberikan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum untuk Wajib Pajak badan yang omzetnya tidak lebih dari Rp50 Milyar yang dikenakan terhadap penghasilan kena pajak dari bagian omzet sampai dengan Rp4,8 Milyar.

PTKP Baru 2009
Sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tahun 2009 adalah sebagi berikut :
• Rp15.840.000,- untuk diri Wajib Pajak
• Rp1.320.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
• Rp15.840.000,- tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
• Rp1.320.000,- tambahan untuk setiap anggota kelauarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenugnya, maksimal tiga orang untuk tiap keluarga

Subjek Pajak

Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.

Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
c. orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
d. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
e. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian ‘badan’ adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapu n, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, erkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, embaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.

Setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.

Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
a. dibentuk berdasarkan peraturan perundang -undangan yang berlaku; dan
b. dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD; dan
c. penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
d. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
e. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
f. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bentuk usaha tetap / BUT ( permanent establishment ) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, p ertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

UU Pajak Penghasilan menganut resident principle untuk Wajib Pajak dalam negeri dan source principle untuk Wajib Pajak luar negeri, yang terlihat dari perlakuan pajaknya, yakni sebagai berikut:

a. Wajib Pajak dalam negeri :
1). dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia;
2). berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum;
3). wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

b. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT :
pemenuhan kewajiban perpajaka nnya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri, namun terbatas pada penghasilan yang bersumber dari Indonesia.

c. Wajib Pajak luar negeri non -BUT :
1). dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
2). berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
3). tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Kapan bermula dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif ?
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri: (a) dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia; (b) berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
2. Wajib Pajak badan dalam negeri: (a) dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; (b) berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Warisan yang belum terbagi: (a) dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut; (b) berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
4. Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui BUT: (a) dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT; (b) berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.
5. Wajib Pajak Orang pribadi atau badan luar negeri non-BUT: (a) dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia; (b) berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

Siapa Subjek Pajak?

Diantara postingan yang paling banyak mendapat komentar dan pertanyaan adalah postingan tentang subjek pajak. Ini diluar perkiraan saya sendiri. Pertanyaan melalui email kebanyakan dari para pekerja yang berdomisili di Luar Negeri lebih dari 183 hari.

Memang, seperti disebutkan di Pasal 1, bahwa Pajak Penghasilan itu dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Kemudian pantas jika timbul pertanyaan : siapa subjek pajak itu?

Ketentuan tentang subjek pajak diatur di Pasal 2 UU PPh 1984. Sedangkan Pasal 3 UU PPh 1984 mengatur bukan subjek pajak. Karena agak panjang, kali ini catatan tentang subjek pajak dibagi ke dalam lima bagian yaitu : subjek pajak, subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri, subjek BUT, dan bukan subjek pajak.

Pasal 2 ayat (1), ayat (1a) dan ayat (2) berbunyi :

(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a.1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

b. badan; dan

c. bentuk usaha tetap.

(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Penjelasan :
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.

Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;

b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;

c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Catatan :
Prakteknya, subjek pajak yang banyak dipakai ada dua saja yaitu, orang pribadi dan badan atau WPOP dan WP Badan. Sementara warisan yang belum terbagi ditetapkan sebagai subjek pajak hanya untuk keperluan penagihan pajak. Bukankah warisan benda mati? Sementara subjek pajak adalah subjek hukum yang oleh undang-undang perpajakan diberikan kewajiban. Warisan tentu saja tidak bisa melaksanakan kewajiban perpajakan seperti halnya WPOP. Sedangkan bentuk usaha tetap atau BUT seperti diatur di Pasal 1a diperlakukan seperti WP Badan.

Perhatikan kalimat di bagian penjelasan, “Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.” Jika diumpamakan warisan itu seekor ayam, dan telur ayam itu penghasilan maka kantor pajak akan memungut pajak telur ayam. Karena pemilik ayam sudah meninggal, maka siapa yang menjadi subjek pajak? Nah supaya kantor pajak bisa memungut pajak telur ayam itu, ditetapkanlah ayam itu sebagai subjek pajak. Si ayam akan tetap sebagai subjek pajak sampai si ayam jelas “diwariskan”. Kemudian jika sudah diwariskan, maka subjek pajak akan berpindah ke pemilik ayam.

Banyak yang belum paham perbedaan kewajiban subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar negeri. Di penjelasan diatas disebutkan perbedaan subjek pajak dalam negeri vs subjek pajak luar negeri. Walaupun bukan merupakan batang tubuh [tidak mengikat] tetapi penjelasan merupakan satu kesatuan.
Maksud saya, penjelasan tidak mungkin bertentangan dengan batang tubuh UU.

Permanent establishment

Permanent establishment atau dalam bahasa Indonesia Bentuk Usaha Tetap [BUT] adalah istilah penting dalam perpajakan Internasional karena berkaitan dengan

[a.] taxing right atau hak pemajakan.
[b.] source rules yaitu sekumpulan ketentuan hukum yang menentukan apa syarat-syaratnya bagi suatu jenis penghasilanagar negara tempat diterimanya penghasilan itu menjadi negara sumber yang berhak memungut pajak atas penghasilan.
[c.] threshold atau ambang batas yaitu kriteria yang memungkinkan suatu negara sumber untuk memajaki penghasilan usaha antar negara.

Hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah jika penghasilan usaha tersebut didapat atau dilakukan melalui Bentuk Usaha Tetap [BUT].

Sebelum lebih jauh, tulisan ini berkaitan dengan BUT di tax treaty. Karena itu dibawah disebut OECD model dan UN model. OECD model dibuat oleh negara-negara maju, sedangkan UN model dibuat oleh para ahli perpajakan PBB tetapi dasarnya tetap OECD model. Boleh dibilang UN model adalah modifikasi OECD model. Keduanya adalah contoh yang menjadi acuan negara-negara dalam negosiasi tax treaty. Karena masih “model” maka dalam tax treaty yang disepakati, mungkin saja tidak sama dengan modelnya.

Jika kegiatan usaha dilakukan oleh BUT maka hak pemajakan sepenuhnya milik negara sumber (exclusively taxing rights). Karena itu, pengertian Bentuk Usaha Tetap tersebut sangat penting agar diketahui dengan jelas negara mana yang berhak mengenakan pajak. OECD model dan UN model memuat pengertian Bentuk Usaha Tetap dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on


Menurut Pak Rachmanto Surahmat [dalam buku yang berjudul Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda – sebuah pengantar], fixed place sebagaimana diatur di Pasal 5 ayat (1) ini memiliki pengertian bahwa suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung tiga syarat :
a. adanya tempat usaha berupa prasarana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu: tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam;
b. tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap; dan
c. kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Selain itu, karakteristik lain dari dari Bentuk Usaha Tetap adalah bersifat produktif, artinya ia turut memberikan andil dalam memperoleh laba usaha bagi kantor pusatnya.

Pada dasarnya, BUT dikelompokkan ke dalam empat tipe :
[1.] Tipe aset
BUT tipe aset ini disebutkan di Pasal 5 ayat (1). Tipe Aset memiliki tiga ciri atau karakteristik atau pengujian [test], yaitu :
[1.a.] place of business, yaitu tempat baik satu ruangan kecil atau kantor yang lebih luas. Tempat tersebut bisa milik sendiri atau hanya sewa yang penting perusahaan luar negeri memiliki hak untuk menggunakan tempat tersebut. Karena itu, pada era digital ini isu server komputer menjadi topik hangat. Salah satu tulisan di blog yang berkaitan dengan e-commerce ditulis oleh Pak Rusdi Yanis.

[1.b.] fixed, yaitu derajat kepermanenan baik secara geografis (dimensi ruang) maupun berkelanjutan (dimensi waktu). Ini menurut Pak Gunadi [dalam buku yang berjudul Pajak Internasional]. Perlu ada hubungan antara komersial dan geografis [commercial and geographic coherence] secara nature of the business. Tetapi menurut Pak Rachmanto Surahmat, “tetap” berkaitan antara tempat tersebut dan titik geografis. Keberadaan suatu peralatan di satu lokasi sudah cukup untuk dianggap berada di satu tempat tetap.

[1.c.] doing business through that fixed place.

[2.] Tipe aktivitas
BUT tipe aktivitas ada dua:
[2.a.] proyek bangunan, konstruksi, perakitan, instalasi, atau aktivitas supervisi untuk proyek tersebut selama 12 bulan. Ini yang ada di OECD model. Tetapi di UN model time test menjadi 6 bulan saja.

[2.b.] kegiatan jasa termasuk konsultasi yang dilakukan perusahaan di negara lain selama 6 bulan dalam 12 bulan. Di OECD model jasa ini tidak diatur secara khusus tapi di UN model diatur yaitu di Pasal 5 ayat (3) huruf b. Negara-negara maju berpendirian bahwa jasa teknik dikenakan di negara domisili kecuali melalui agen tidak bebas. Tetapi negara-negara berkembang yang tergabung dalam UN tax experts group berpendapat bahwa hal ini merugikan mereka sehingga kegiatan pemberian jasa ditetapkan sebagai BUT jika melewati time test. Berbeda dengan [2.a.] diatas, time test jasa tidak perlu terus-menerus. Bisa putus-putus yang penting dalam 12 bulan ada 6 bulan. Pemberian jasa ini bisa dilakukan oleh pegawai perusahaan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut.

[3.] Tipe agen
Tidak semua agen merupakan BUT. Agen dibagi dua yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Nah, agen yang manjadi BUT adalah agen tidak bebas. Hal ini diatur di Pasal 5 ayat (5) OECD model. Bahwa orang atau badan dapat ditetapkan sebagai BUT jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas. Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan asal :
[3.a.] Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.

[3.b.] Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara.

[3.c.] Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

[4.] Tipe asuransi
Ada perbedaan antara OECD model dengan UN model berkaitan dengan BUT asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5) yaitu melalui agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi.

UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai BUT apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7). Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Bentuk Usaha Tetap adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Biasanya ada pengecualian di tax treaty yang biasanya disebutkan di Pasal 5 ayat (4).
Sebagai contoh, berikut ini Pasal 5 ayat (4) tax treaty IndonesiaChina :

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, istilah "bentuk usaha tetap" dianggap tidak mencakup:
a). penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;

b). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;

c). pengurusan terhadap persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;

d) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan, atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan;

e) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata untuk tujuan periklanan atau penyediaan informasi;

f) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang, bagi keperluan perusahaan

g) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk melakukan gabungan kegiatan-kegiatan seperti disebutkan pada sub-ayat a) sampai dengan sub ayat e), sepanjang kegiatan-kegiatan tempat usaha tetap yang merupakan hasil penggabungan tadi bersifat sebagai kegiatan persiapan atau kegiatan penunjang.

Pokok-pokok Perubahan Ketiga UU KUP

PASAL 1

Penambahan beberapa definisi meliputi:
1. Pajak;
2. Bukti permulaan;
3. Pemeriksaan bukti permulaan;
4. Penyidik;
5. Putusan gugatan;
6. Putusan Peninjauan Kembali;
7. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
8. Tanggal dikirim; dan
9. Tanggal diterima.

PASAL 2
PEMBERIAN NPWP dan NPWP

Ketentuan sebelumnya :
[1] Kewajiban perpajakan dimulai sejak WP memenuhi persyaratan subjektif dan objektif belum diatur secara tegas.
[2] Wanita kawin yang dapat memperoleh NPWP hanya wanita kawin yang “hidup terpisah” atau “pisah penghasilan dan harta secara tertulis” dari suaminya.
Perubahan :
[1] Diatur secara tegas bahwa kewajiban perpajakan WP dimulai sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
[2] Wanita kawin yang tidak pisah harta dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP sebagai sarana untuk memenuhi hak dan kewajiban perpajakan atas namanya sendiri.


PASAL 3
SURAT PEMBERITAHUAN

Ketentuan sebelumnya :
[1] Pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT hanya secara manual.
[2] Batas akhir penyampaian semua SPT Tahunan PPh paling lambat 3 bulan sejak akhir Tahun Pajak.
[3] Perpanjangan SPT dengan permohonan dan harus dengan persetujuan Dirjen Pajak.
Perubahan :
[1] Pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian SPT dapat secara manual dan elektronik.
[2] Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh badan paling lambat 4 bulan sejak akhir Tahun Pajak.
[3] Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT cukup dengan pemberitahuan.

PASAL 7
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA

Ketentuan sebelumnya :
Denda keterlambatan atau tidak menyampaikan SPT:
[1] SPT Masa Rp 50 ribu;
[2] SPT Tahunan Rp 100 ribu.
Perubahan :
[1] SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp 100 ribu;
[2] SPT Tahunan PPh badan Rp 1 juta;
[3] SPT Masa PPN Rp 500 ribu;
[4] SPT Masa Lainnya Rp 100 ribu.


PASAL 8
PEMBETULAN SPT

Ketentuan sebelumnya :
[1] Paling lama 2 (dua) tahun setelah Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, Tahun Pajak, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.
[2] Sanksi administrasi pembetulan SPT dengan kemauan Wajib Pajak sendiri setelah Pemeriksaan tetapi belum dilakukan penyidikan 200%.
Perubahan :
[1] Sampai dengan daluwarsa, kecuali untuk SPT Rugi atau SPT Lebih Bayar paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.
[2] Sanksi administrasi atas pembetulan SPT dengan kemauan Wajib Pajak sendiri setelah Pemeriksaan tetapi belum dilakukan penyidikan 150%.

PASAL 9 dan PASAL 10
PEMBAYARAN PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
[1] Pembayaran pajak yang dianggap sah belum diatur secara tegas. (Pasal 10)
[2] Kekurangan pajak berdasarkan SPT Tahunan dibayar paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak. (Pasal 9)
[3] Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk semua Wajib Pajak paling lama 1 bulan. (Pasal 9)
Perubahan :
[1] Penegasan bahwa pembayaran pajak di tempat yang ditentukan Menteri Keuangan adalah sah apabila telah disahkan oleh pejabat pada tempat pembayaran tersebut. (Pasal 10)
[2] Kekurangan pembayaran pajak berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT disampaikan. (Pasal 9)
[3] Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu paling lama 2 bulan. (Pasal 9)


PASAL 13A
SANKSI ADMINISTRASI BERUPA KENAIKAN

Ketentuan sebelumnya :
Sanksi administrasi untuk kealpaan yang pertama dilakukan Wajib Pajak, tidak diatur.
Perubahan :
Kealpaan tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang dibayar.


PASAL 14
DASAR PENERBITAN SPT

Ketentuan sebelumnya :
[1] Pelaporan faktur pajak yang tidak sesuai dengan masa penerbitan tidak diatur.
[2] Pengusaha yang gagal berproduksi dan telah mengkreditkan Faktur Pajak Masukan tidak diatur khusus.
[3] Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak dikenai sanksi administrasi dengan STP.
Perubahan :
[1] Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak dikenai sanksi.
[2] Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan diwajibkan membayar kembali.
[3] Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak, tidak dikenai sanksi administrasi tetapi dikenai sanksi pidana.


PASAL 16
PEMBETULAN KETETAPAN PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
Batas akhir penyelesaian pembetulan 12 bulan.
Perubahan :
[1] Batas akhir penyelesaian pembetulan 6 bulan.
[2] Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak.


PASAL 17B
PENYELESAIAN SPT LB

Ketentuan sebelumnya :
Batas akhir pemeriksaan SPT LB bagi Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tidak diatur khusus.
Perubahan :
Batas akhir pemeriksaan SPT LB tertunda bila WP terhadap dilakukan pemeriksaan bukti permulaan.


PASAL 17C & 17D
PERCEPATAN RESTITUSI

Ketentuan sebelumnya :
Hanya untuk Wajib Pajak Patuh.
(paling lama 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN)
Perubahan :
[1] Untuk Wajib Pajak Patuh; dan
[2] Untuk Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (WP beresiko rendah, seperti pengusaha kecil dan Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari satu pemberi kerja).


PASAL 17E
RESTITUSI PPN UNTUK TURIS ASING

Ketentuan sebelumnya :
Tidak diatur
Perubahan :
Dapat diberikan Restitusi PPN atas pembelian barang bawaan oleh wisatawan mancanegara.


PASAL 13 dan PASAL 22
DALUARSA PENETAPAN dan PENAGIHAN

Ketentuan sebelumnya :
Untuk penetapan dan penagihan:
10 (sepuluh) tahun sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Perubahan :
[1] Untuk penetapan:
5 (lima) tahun sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
[2] Untuk penagihan:
5 (lima) tahun sejak penerbitan penetapan pajak.


PASAL 21
HAK MENDAHULUI

Ketentuan sebelumnya :
Hak mendahulu untuk melakukan penagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya. Selama ini dibatasi 2 tahun setelah penyampaian Surat Paksa.
Perubahan :
Hak mendahulu diubah menjadi sampai dengan daluwarsa penagihan pajak.


PASAL 23
GUGATAN

Ketentuan sebelumnya :
Yang dapat digugat (objek gugatan):
[1] Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
[2] Semua Keputusan selain Pasal 25 dan Pasal 26;
[3] Pasal 16 dan Pasal 36 yang berkaitan dengan STP.
Perubahan :
Ditambahkan:
[1] Keputusan Pencegahan dalam rangka penagihan pajak.
[2] Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang tidak sesuai dengan prosedur.


PASAL 25
KEBERATAN

Ketentuan sebelumnya :
[1] Proses penyelesaian keberatan belum diatur.
[2] Keberatan diajukan harus dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak.
[3] Data/informasi yang dapat dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan tidak diatur secara khusus.
[3] Keberatan tidak menunda kewajiban pembayaran dan penagihan pajak.
Perubahan :
[1] Wajib Pajak berhak untuk memperoleh hasil penelitian keberatan dan hadir untuk memberikan keterangan dan menerima penjelasan dalam pembahasan keberatan.
[2] Keberatan diajukan harus dalam jangka waktu 3 bulan sejak surat ketetapan pajak dikirim.
[3] Data/informasi yang pada saat pemeriksaan masih berada pada pihak ketiga, dapat dipertimbangkan.
[4] Wajib Pajak membayar ketetapan pajak paling sedikit sejumlah pajak yang disetujui oleh Wajib Pajak.
[5] Jangka waktu pelunasan pajak tertangguh.
[6] Jumlah pajak yang diajukan keberatan belum merupakan utang pajak.
[7] Apabila Wajib Pajak kalah dan masih harus membayar kekurangan pajak, dikenai denda 50%.


PASAL 27
BANDING

Ketentuan sebelumnya :
Tidak diatur secara khusus
Perubahan :
[1] Jumlah pajak yang diajukan banding belum merupakan utang pajak sehingga tidak ditagih dengan surat paksa.
[2] Apabila Wajib Pajak kalah, dikenai denda sebesar 100% dari pajak yang belum dilunasi.
[3] Wajib Pajak berhak memperoleh keterangan secara tertulis mengenai dasar keputusan keberatan.


PASAL 27A
IMBALAN BUNGA

Ketentuan sebelumnya :
Surat Keputusan Keberatan dan putusan banding yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan, hanya atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
Perubahan :
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan, Surat Keputusan Pengurangan dan Surat Keputusan Pembatalan atas surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak, serta Surat Keputusan Keberatan, putusan banding, putusan Peninjauan Kembali atas surat ketetapan pajak, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan.


PASAL 28
PEMBUKUAN

Ketentuan sebelumnya :
Kewajiban menyimpan data pembukuan yang dikelola secara elektronik belum diatur.
Perubahan :
Wajib Pajak yang melakukan pembukuan secara elektronik atau program aplikasi online wajib menyimpan soft copy di Indonesia selama 10 tahun.


PASAL 29
PEMERIKSAAN

Ketentuan sebelumnya :
[1] Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan barang bergerak atau tidak bergerak belum diatur secara tegas.
[2] Prosedur pemeriksaan belum diatur secara tegas di dalam batang tubuh Undang-Undang.
[3] Keharusan penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan dan pembahasan akhir (closing conference) hanya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan.
Perubahan :
[1] Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan barang bergerak atau tidak bergerak diatur secara tegas.
[2] Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak meminjamkan atau memperlihatkan dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan, pajaknya dapat dihitung secara jabatan.
[3] Dokumen untuk pemeriksaan wajib dipenuhi paling lambat satu bulan.
[4] Prosedur pemeriksaan mengenai penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan dan hak WP untuk hadir dalam pembahasan akhir (closing conference), dimuat dalam batang tubuh UU.
[5] Bila pemeriksaan tidak memenuhi prosedur ini, maka hasil pemeriksaan dibatalkan.


PASAL 29A
WAJIB PAJAK TERBUKA (GO PUBLIC)

Ketentuan sebelumnya :
Belum diatur secara tegas
Perubahan :
Wajib Pajak Go-Public yang laporan keuangannya Wajar Tanpa Pengecualian, dapat dilakukan pemeriksaan cukup dengan pemeriksaan kantor apabila Wajib Pajak tersebut termasuk dalam kriteria yang harus diperiksa.


PASAL 35A
AKSES DATA

Ketentuan sebelumnya :
Terbatas pada adanya kegiatan pemeriksaan pajak.
Perubahan :
[1] Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak;
[2] Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan dikenakan sanksi pidana penjara dan denda.


PASAL 36
PENGURANGAN dan PEMBATALAN KETETAPAN PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
[1] Dilakukan terhadap ketetapan pajak yang tidak benar;
[2] Jangka waktu penyelesaian paling lama 12 bulan.
Perubahan :
[1] Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
[2] Mengurangkan atau membatalkan STP yang tidak benar;
[3] Membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak yang dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur;
[4] Batas akhir Jangka waktu penyelesaian paling lama 6 bulan.


PASAL 16
PEMBETULAN KETETAPAN PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
[1] Yang dapat dibetulkan adalah skp, STP, SK Keberatan, SK Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, SK Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar atau SKPPKP.
[2] Jangka waktu penyelesaian paling lama 12 bulan.
Perubahan :
[1] Menambahkan produk hukum yang dapat dibetulkan, yaitu SK Pembetulan, Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
[2] Memecah produk hukum yang dapat dibetulkan, yaitu SK Pengurangan atau Pembatalan ketetapan pajak menjadi SK Pengurangan Sanksi Administrasi dan SK Penghapusan Sanksi Administrasi serta SK Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak menjadi SK Pengurangan Ketetapan Pajak dan SK Pembatalan Ketetapan Pajak.
[3] Jangka waktu penyelesaian paling lama 6 bulan.
[4] Apabila permintaan WP ditolak atau diterima sebagian, diberikan alasan.


PASAL 36A
SANKSI BAGI PETUGAS PAJAK

Ketentuan sebelumnya :
Sanksi bagi petugas pajak yang melakukan penyalahgunaan wewenang diatur secara umum.
Perubahan :
[1] Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi.
[2] Pegawai pajak yang dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan dan dikenai sanksi.
[3] Pegawai pajak yang terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri dipidana berdasarkan KUHP.
[4] Pegawai pajak yang memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, dipidana berdasarkan UU Tipikor.
[5] Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


PASAL 36B
KODE ETIK PEGAWAI

Ketentuan sebelumnya :
Diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Perubahan :
[1] Pegawai DJP wajib mematuhi Kode Etik.
[2] Pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran Kode Etik dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


PASAL 36C
KOMITE PENGAWAS PERPAJAKAN

Ketentuan sebelumnya :
Tidak diatur.
Perubahan :
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


PASAL 37A
SUNSET POLICY

Ketentuan sebelumnya :
Tidak diatur.
Perubahan :
[1] WP yang membetulkan SPT Tahunan sebelum tahun pajak 2007 selama masa 1 (satu) tahun setelah diberlakukannya UU, diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
[2] Wajib Pajak Orang Pribadi yang dengan sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) tahun setelah diberlakukannya UU ini diberi kemudahan:
[2.a.] diberikan penghapusan sanksi administrasi
[2.b.] Tidak dilakukan pemeriksaan pajak kecuali terdapat data yang menyatakan bahwa SPT Wajib Pajak tidakbenar.


PASAL 39A
SANKSI PIDANA

Ketentuan sebelumnya :
Pidana atas penerbit dan pengedar Faktur Pajak fiktif dan setoran pajak fiktif belum diatur.
Perubahan :
Penerbit, pengguna, pengedar Faktur Pajak fiktif, dan/atau bukti pemungutan dan/atau bukti pemotongan pajak fiktif (bermasalah), diancam pidana penjara dan pidana denda;


PASAL 41A
SANKSI PIDANA

Ketentuan sebelumnya :
Belum mengatur kewajiban memberikan data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Perubahan :
Setiap orang dari asosiasi, instansi dan lembaga Pemerintah, dan pihak ketiga yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak, termasuk pihak yang menyebabkan tidak terpenuhinya data dan informasi dimaksud dikenai sanksi pidana.

KONSTRUKSI SANKSI PIDANA

Ketentuan sebelumnya :
Sanksi pidana atas Tindak Pidana di bidang perpajakan hanya dikenakan sanksi maksimal.
Perubahan :
Beberapa sanksi pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi minimal dan maksimal.

PASAL 44
KETENTUAN PENYIDIKAN

Ketentuan sebelumnya :
Belum dijelaskan secara tegas mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan hal-hal yang dapat dilakukan penyitaan.
Perubahan :
[1] Yang menyidik hanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
[2] Penyitaan dilakukan terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga, milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, atau pihak-pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Istilah dalam KUP

Istilah dalam KUP perpajakan
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

5. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

8. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender

9. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.

10. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

11. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

12. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.

13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

15. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

24. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

26. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.


27. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.

31. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

32. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.

34. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.

37. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
38. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.

39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.

40. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.

41. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.